Puluhan senjata dan ratusan amunisi masih dikuasai kelompok garis keras pimpinan Santoso yang bersembunyi di sekitar Gunung Koroncopu. Persenjataan ini antara lain didatangkan dari Moro, Filipina, yang merupakan senjata sisa konflik atau yang direbut dari aparat. Senjata sisa konflik juga diduga masih disimpan warga.
Sebelumnya, polisi membeberkan barang bukti berupa senjata api rakitan dan organik, amunisi, bom rakitan berbagai jenis, dan peralatan lain yang lazim digunakan dalam perang atau latihan perang, yang diduga milik kelompok Santoso. Senjata-senjata tersebut ditemukan saat penyisiran di Gunung Koroncopu.
”Untuk senjata organik laras panjang dan laras pendek, belasan masih ada pada mereka. Senjata rakitan, bisa puluhan. Amunisi masih banyak. Yang mereka rakit bukan hanya senjata api dan bom, melainkan amunisi pun sudah bisa mereka daur ulang. Selongsong mereka isi bubuk dan berbagai campuran, lalu proyektilnya diganti dengan ujung paku. Hasil rakitan mereka semakin hari semakin bagus dan rapi,” kata Kepala Kepolisian Resor Poso Ajun Komisaris Besar Susnadi, di Poso, Kamis (13/6/2013).
Berdasarkan data kepolisian, sebagian dari senjata dan amunisi itu didatangkan dari Moro. Pengiriman lewat laut melalui Sulawesi Utara. Sebagian dikirim ke Luwuk, Kabupaten Banggai, melalui laut dan selanjutnya jalur darat ke Palu. Selebihnya melalui jalur laut langsung ke Poso melalui Teluk Tomini.
Bom bunuh diri di Markas Polres Poso, misalnya, ditempatkan dalam wadah plastik. Ledakan bom pada Oktober 2012 di Kecamatan Poso Kota, bom menggunakan telepon genggam dengan pengatur waktu. Aparat juga pernah menemukan bom ranjau seberat 10 kilogram di Tamanjeka yang disimpan dalam wadah makanan dari plastik.
Kelompok garis keras pimpinan Santoso cukup terorganisasi. Mereka memiliki orang-orang yang mempunyai kemampuan mulai dari merakit bom, merakit senjata, membuat detonator, mendaur ulang amunisi, hingga merangkai bom.
Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada, Muhammad Najib Azca, Kamis, di Yogyakarta, mengatakan, penindakan secara represif terhadap kelompok radikal dan jaringan terorisme relatif signifikan, tetapi tidak sepenuhnya mampu mematikan. Karena itu, langkah mendesak yang harus dilakukan pemerintah adalah mendapatkan dukungan publik terhadap pemberantasan terorisme.
”Reproduksi gerakan radikal dan terorisme perlu diisolasi dengan dukungan publik yang besar. Pemerintah harus mampu memobilisasi dukungan publik dengan menggandeng kelompok-kelompok masyarakat,” ujarnya. (Tribun)
Sebelumnya, polisi membeberkan barang bukti berupa senjata api rakitan dan organik, amunisi, bom rakitan berbagai jenis, dan peralatan lain yang lazim digunakan dalam perang atau latihan perang, yang diduga milik kelompok Santoso. Senjata-senjata tersebut ditemukan saat penyisiran di Gunung Koroncopu.
”Untuk senjata organik laras panjang dan laras pendek, belasan masih ada pada mereka. Senjata rakitan, bisa puluhan. Amunisi masih banyak. Yang mereka rakit bukan hanya senjata api dan bom, melainkan amunisi pun sudah bisa mereka daur ulang. Selongsong mereka isi bubuk dan berbagai campuran, lalu proyektilnya diganti dengan ujung paku. Hasil rakitan mereka semakin hari semakin bagus dan rapi,” kata Kepala Kepolisian Resor Poso Ajun Komisaris Besar Susnadi, di Poso, Kamis (13/6/2013).
Berdasarkan data kepolisian, sebagian dari senjata dan amunisi itu didatangkan dari Moro. Pengiriman lewat laut melalui Sulawesi Utara. Sebagian dikirim ke Luwuk, Kabupaten Banggai, melalui laut dan selanjutnya jalur darat ke Palu. Selebihnya melalui jalur laut langsung ke Poso melalui Teluk Tomini.
Bom bunuh diri di Markas Polres Poso, misalnya, ditempatkan dalam wadah plastik. Ledakan bom pada Oktober 2012 di Kecamatan Poso Kota, bom menggunakan telepon genggam dengan pengatur waktu. Aparat juga pernah menemukan bom ranjau seberat 10 kilogram di Tamanjeka yang disimpan dalam wadah makanan dari plastik.
Kelompok garis keras pimpinan Santoso cukup terorganisasi. Mereka memiliki orang-orang yang mempunyai kemampuan mulai dari merakit bom, merakit senjata, membuat detonator, mendaur ulang amunisi, hingga merangkai bom.
Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada, Muhammad Najib Azca, Kamis, di Yogyakarta, mengatakan, penindakan secara represif terhadap kelompok radikal dan jaringan terorisme relatif signifikan, tetapi tidak sepenuhnya mampu mematikan. Karena itu, langkah mendesak yang harus dilakukan pemerintah adalah mendapatkan dukungan publik terhadap pemberantasan terorisme.
”Reproduksi gerakan radikal dan terorisme perlu diisolasi dengan dukungan publik yang besar. Pemerintah harus mampu memobilisasi dukungan publik dengan menggandeng kelompok-kelompok masyarakat,” ujarnya. (Tribun)
0 komentar:
Posting Komentar