Kemarin Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) berjanji segera menertibkan topeng monyet jalanan yang selama ini dimanfaatkan orang-orang untuk mencari nafkah. Monyet tersebut akan dibeli oleh Jokowi, dan dipindahkan ke Taman Margasatwa Ragunan (TMR)
Jokowi mengaku prihatin dengan banyaknya atraksi topeng monyet di ibu kota. Menurut dia, monyet harusnya tidak dijadikan alat untuk mendapatkan uang. "Itu sudah menjadi isu internasional. Kasihan monyetnya," ujar Jokowi.
Selama ini monyet memang kerap dieksploitasi oleh manusia. Mahluk Tuhan itu diperas tenaganya untuk mengais rupiah di jalanan. Lalu, bagaimana sih asal usul dan sejarah topeng monyet di Indonesia ini?
Selama ini memang tidak banyak literatur buku yang resmi menulis tentang sejarah topeng monyet. Andai ada, itu hanya berupa dokumentasi foto koleksi Tropenmuseum Amsterdam, Belanda. Foto itu hasil jepretan Charles Breijer, anggota de Ondergedoken Camera atau juru foto Amsterdam yang bekerja di Indonesia pada 1947 sampai 1953.
Namun Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, dalam novel sejarah karyanya pada 1981 yang berjudul: Roro Mendut, menyebut istilah topeng monyet sebagai kethek ogleng, yakni: monyet yang serba bergerak tak seimbang, kikuk, dan lucu dan dimanfaatkan untuk ngamen dalam pertunjukan topeng monyet.
Sementara itu Matthew Isaac Cohen, dalam bukunya berjudul: The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891-1903 di halaman 341, menjelaskan bahwa atraksi monyet dan anjing terkait dengan perkembangan seni pertunjukan komersial di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19.
Selain pertunjukan komersial berskala besar seperti sirkus, kelompok akrobatik Jepang, operet, dan burlesque (pertunjukan drama atau musik yang bertujuan membuat tertawa), ada juga hiburan berskala kecil: panggung pesulap Eropa, India dan Cina; balloonists (orang yang mengoperasikan wahana balon terbang), pertunjukan anjing dan monyet, serta seniman boneka.
Istilah 'pertunjukan anjing dan monyet' yang disebut-sebut oleh Matthew Isaac Choen, kemudian dikutip oleh Peter J. M. Nas, dalam bukunya berjudul: The Indonesian Town Revisited. Dalam buku itu dia menulis sebuah catatan kaki tentang istilah topeng monyet.
Dalam catatan itu dia mengatakan, pertunjukan yang menampilkan monyet dan anjing (seperti ditulis Matthew) direproduksi di Indonesia. Di Jakarta, kata dia, dikenal dengan nama 'topeng monyet', sementara di Jawa disebut ledhek kethek.
Peter menambahkan, miniatur sirkus (topeng monyet) tersebut merupakan salah satu hiburan mengamen paling umum di pasar, jalan-jalan pedesaan, dan perkotaan di seluruh barat Indonesia. Pertunjukan akrobatik ini menjadi umum pada awal 1890-an.
Tulisan Peter itu cocok dengan dokumentasi foto hasil jepretan Charles Breijer. Seperti terlihat dalam beberapa foto hasil jepretannya.
Agaknya, dahulu pertunjukan topeng monyet memang banyak disukai oleh anak-anak, baik pribumi maupun Belanda dan Eropa. Konon, atraksi ini bertahan terus hingga era 70-an. Bahkan, karena sangat terkenal, atraksi itu dapat dimainkan berkali-kali dalam sehari.
Namun kini, atraksi topeng monyet agaknya kurang menarik. Lihat saja di pinggir-pinggir jalan ketika atraksi monyet naik sepeda, pakai topeng reog ponorogo atau payung ngamen, hampir tidak ada yang simpatik. Apalagi, atraksi ini juga menuai kontroversi, termasuk protes Jokowi.
Sekarang bagaimana, mengingat monyet juga makhluk Tuhan, apakah anda setuju topeng monyet dihapus dan dibersihkan Jokowi?
Sumber : Merdeka
Jokowi mengaku prihatin dengan banyaknya atraksi topeng monyet di ibu kota. Menurut dia, monyet harusnya tidak dijadikan alat untuk mendapatkan uang. "Itu sudah menjadi isu internasional. Kasihan monyetnya," ujar Jokowi.
Selama ini monyet memang kerap dieksploitasi oleh manusia. Mahluk Tuhan itu diperas tenaganya untuk mengais rupiah di jalanan. Lalu, bagaimana sih asal usul dan sejarah topeng monyet di Indonesia ini?
Selama ini memang tidak banyak literatur buku yang resmi menulis tentang sejarah topeng monyet. Andai ada, itu hanya berupa dokumentasi foto koleksi Tropenmuseum Amsterdam, Belanda. Foto itu hasil jepretan Charles Breijer, anggota de Ondergedoken Camera atau juru foto Amsterdam yang bekerja di Indonesia pada 1947 sampai 1953.
Namun Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, dalam novel sejarah karyanya pada 1981 yang berjudul: Roro Mendut, menyebut istilah topeng monyet sebagai kethek ogleng, yakni: monyet yang serba bergerak tak seimbang, kikuk, dan lucu dan dimanfaatkan untuk ngamen dalam pertunjukan topeng monyet.
Sementara itu Matthew Isaac Cohen, dalam bukunya berjudul: The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891-1903 di halaman 341, menjelaskan bahwa atraksi monyet dan anjing terkait dengan perkembangan seni pertunjukan komersial di Hindia Belanda pada akhir abad ke-19.
Selain pertunjukan komersial berskala besar seperti sirkus, kelompok akrobatik Jepang, operet, dan burlesque (pertunjukan drama atau musik yang bertujuan membuat tertawa), ada juga hiburan berskala kecil: panggung pesulap Eropa, India dan Cina; balloonists (orang yang mengoperasikan wahana balon terbang), pertunjukan anjing dan monyet, serta seniman boneka.
Istilah 'pertunjukan anjing dan monyet' yang disebut-sebut oleh Matthew Isaac Choen, kemudian dikutip oleh Peter J. M. Nas, dalam bukunya berjudul: The Indonesian Town Revisited. Dalam buku itu dia menulis sebuah catatan kaki tentang istilah topeng monyet.
Dalam catatan itu dia mengatakan, pertunjukan yang menampilkan monyet dan anjing (seperti ditulis Matthew) direproduksi di Indonesia. Di Jakarta, kata dia, dikenal dengan nama 'topeng monyet', sementara di Jawa disebut ledhek kethek.
Peter menambahkan, miniatur sirkus (topeng monyet) tersebut merupakan salah satu hiburan mengamen paling umum di pasar, jalan-jalan pedesaan, dan perkotaan di seluruh barat Indonesia. Pertunjukan akrobatik ini menjadi umum pada awal 1890-an.
Tulisan Peter itu cocok dengan dokumentasi foto hasil jepretan Charles Breijer. Seperti terlihat dalam beberapa foto hasil jepretannya.
Agaknya, dahulu pertunjukan topeng monyet memang banyak disukai oleh anak-anak, baik pribumi maupun Belanda dan Eropa. Konon, atraksi ini bertahan terus hingga era 70-an. Bahkan, karena sangat terkenal, atraksi itu dapat dimainkan berkali-kali dalam sehari.
Namun kini, atraksi topeng monyet agaknya kurang menarik. Lihat saja di pinggir-pinggir jalan ketika atraksi monyet naik sepeda, pakai topeng reog ponorogo atau payung ngamen, hampir tidak ada yang simpatik. Apalagi, atraksi ini juga menuai kontroversi, termasuk protes Jokowi.
Sekarang bagaimana, mengingat monyet juga makhluk Tuhan, apakah anda setuju topeng monyet dihapus dan dibersihkan Jokowi?
Sumber : Merdeka
0 komentar:
Posting Komentar